Sejak lama saya selalu menolak jika ada teman yang mengajak naik ke gunung. Saya lahir di daerah Cirebon, dimana tidak jauh dari daerah saya, di sana ada Gunung Ciremai yang sering jadi target destinasi pecinta alam 'munggah gunung'. Kalau gak salah punya ketinggian 3.078 mdpl.
Saat usia sekolah (SMA), saya beberapa kali diajak teman untuk naik (gunung), tapi selalu saya menolak. Saat itu alasannya bukan karena gak kuat, tapi saat itu saya sudah mengenal bahwa gunung itu punya aura mistis dan saya gak suka dengan hal tersebut.
Penakut? Hmm, mungkin juga ya, walaupun saya terkadang pada masa itu senang juga nonton atau menyenangi informasi hal mistis dan klenik. Tapi justru itulah yang membuat saya makin tahu dan enggan memilih gunung untuk jadi pilihan healing.
Ilustrasi, pemandangan pegunungan.
Usia bertambah dan saya masuk dunia perkuliahan. Masa itu relasi dan kegiatan² mahasiswa makin banyak, salah¹ nya adalah pecinta alam atau 'mapala', istilahnya banyak lah soal ini. Pada masa ini saya juga sempat diajak untuk ikut kegiatan mahasiswa seperti ini tapi saya menolak. Alasannya ketika itu, adalah proses rekrutmen dan diksarnya yang menurut saya tak menyenangkan. Hmm apa itu?
Saya menilai sebagai sebuah penyiksaan daripada menikmati alam. Memang mereka mendidik mental kita dalam bertahan hidup di alam. Tapi menurut saya bukan begitu caranya. Bayangkan saja, teman saya sekos, ada yang ikut itu mapala di salah satu kampus fakultasnya. Jadi dalam proses diksarnya itu dengan hiking, berjalan kaki beberapa kilometer naik turun bukit dan lembah sampai kaki² mereka ledes, kapalan dan luka², bahkan kulit kaki sampai kelupas. Hmm buat saya itu menyiksa dan ngapain pilih kegiatan mahasiswa macam begini, buat saya itu sampah!
Mungkin bagi mereka yang mau ikut, mereka suka dan dapat manfaat, tapi tidak bagi saya dan menurut saya sangat tidak produktif.
Cara² survival bisa diajarkan dengan cara lain, tidak seperti itu, walaupun bisa saja ketika apes bisa mengalami masa sulit itu. Tapi tidak sampai kaki ledes hingga kulit telapak kali kelupas semua. Padahal kebanyakan kasus yang terjadi anak² mapala yang tewas di gunung itu karena tersesat, hilang, jatuh ke jurang hingga diumpetin jin, hingga hipotermia, gak ada yang sampai ledes kulit telapak kalinya.
Inilah yang jadi alasan saya tidak menyukai kegiatan² outdoor macam ini, jika pun saya ikut, saya ikut bukan dengan jalur 'penyiksaan' seperti ini.
Padahal pada jaman kuliah ini banyak sekali ajakan naik gunung, ada Gunung Slamet 3.432 mdpl dan Gunung Sumbing 3.371 mdpl. Tapi gak ada yang saya iyakan, ada rasa ingin tapi selalu banyak pertimbangan dan berpikir ulang.
Seiring waktu karena beberapa hal tadi saya tidak pernah memilih healing ke pegunungan sebagai pilihan, laut adalah pilihan utama saya.
Saat saya masuk dunia kerja, healing ke pegunungan adalah sebuah pilihan akhir, karena saya lebih menyukai laut daripada gunung. Walaupun tidak menolak jika diajak jalan ke wilayah pegunungan dengan suasana hijau di daerah dataran tinggi.
Waktu terus berjalan, banyak saya dengar² cerita bahwa banyak pendaki gunung yang hilang, tersesat hingga disembumyikan jin. Lalu beberapa rekamam dokumentasikan yang menunjukan hal² aneh ketika sedang naik gunung. Entah gangguan makluk² kuntilanak, pocong dan sejenisnya ketika naik ke gunung tertentu, yang punya rekam jejak angker. Hal itu makin membuat saya enggan. Karena takut? Ya bisa saja begitu.
Ada aturan main ketika kita naik gunung, yaitu kita harus menjaga laku santun dalam berujar dan bercanda. Nah di sinilah kesulitan saya, saya kandang sering selengean, ya pecicilan, imajinasi saya yang tinggi, suka iseng dll., menjadikan sebuah resiko jika saya lupa diri dan kelepasan ketika tengah berada di hutan saat mendaki, bisa² saya diumpetin jin gara² sembarangan. Itulah yang membuat saya enggan untuk pergi naik gunung, hanya untuk sekedar sampai ke puncaknya. Itulah alasan saya saat ini kenapa saya enggan naik gunung.
Saya sadar bahwa di hutan pegunungan adalah wilayah 'mereka', ya takut saja ada kata² saya yang menyinggung 'mereka' karena saya senang bercanda dan membuat segalanya jadi sebuah hiburan. Pasti ada pihak² yang tidak suka, bahayanya kalau yang gak suka itu maklum tak kasat mata maka saya yang repot, dia buat saya tersesat bahaya, bisa mati. Jadi lebih baik gak usah main² naik gunung model itu.
Lebih baik saya memilih naik gunung yang lain, yang lebih menyenangkan dan bebas berekspresi, gembira dan bercanda tanpa perlu mikirin perasaan maklum astral, karena di sini bukan tempat mereka jadi saya bisa suka² saya.
Nah itulah yang jadi alasan saya tidak mau naik gunung saat ini. Meski begitu, saya memilih melakukan hal yang serupa tapi tanpa naik gunung, yaitu ngecamp di daerah bumi perkemahan, tetap dekat dengan gunung tapi suasananya menyerupai dan bisa tetap stay di tenda. Di situlah saya bisa menikmati healing di pegunungan tanpa harus takut dan saya bisa bercanda.
Sejak saya menikmati suasana pegunungan, kini preferensi saya terhadap lokasi healing gunung atau laut adalah 50:50. Kini buat saya keduanya dianggap sama sebagai obat stres, healing terbaik menurut saya, laut atau gunung punya nilai yang sama dalam hal terbaik. Preferensi saya hingga saat ini merupakan suatu proses, karena sebelumnya saya tidak suka gunung, tapi sejak saya bisa menemukan alternatif, saya punya preferensi yang sama keduanya saat ini.
Ilustrasi, suasana ketika mendaki gunung. Gambar diambil dari Google
Cerita dari anak² gunung yang tersesat di gunung sangatlah banyak, ada yang selamat dan ada yang tidak. Keduanya punya cerita bahwa ada sesuatu kekuatan di alam sana yang punya kuasa 'mengganggu' konsentrasi pendaki. Wajar saja jika pendaki hilang konsentrasi, efek kelelahan jadi salah¹ alasan hilangnya, ditambah suasana, hawa dingin di pegunungan membuat situasi ini terdukung dengan baik.
Kuasa 'mengganggu' ini terjadi jika apabila kita sebagai pendaki bertingkah selengean atau berlaku kurang sopan menurut mereka. Akhirnya pendaki 'nakal' ini bisa saja disesatkan atau malah dibuat kesambet atau kerasukan.
Itulah yang jadi keraguan dan ketakutan saya, jika saya mencoba ikut naik gunung. Karena terlalu banyak 'pantangan' ini itu yang biasanya bisa dilakukan di darat, di dataran rendah tidak bisa dilakukan di sana dan itu saya gak mau ikut aturan itu. Jadi lebih baik saya yang mengalah, ngapain juga naik gunung. Lebih baik ya gunung yang lebih menyenangkan itu.
Ya ini adalah opini saya dan jadi alasan saya kenapa tidak tertarik untuk memilih kegiatan mendaki gunung sebagai media healing.
Tapi walaupun gak bisa naik gunung, saya masih bisa untuk ngecamp di daerah perbukitan, setidaknya masih bisa merasakan suasana pegunungan. -THN
#onedayonepost
#opini
#umum
No comments:
Post a Comment